Sabtu, 22 November 2014

SEMANGKUK CINTA

Dulu setiap harinya ada semangkuk cinta ku teguk. Dan mangkuk-mangkuk kosong lain bertumpuk. Kenangan tentang itu takkan pernah remuk. 

"Buk... aku nggawe bakso yo?" ujarku kala itu.
"Iyo. Penthole piro?"
"Tigaaa." sambil nyengir.
"Yowes ra popo. Nggawe sego lho!"

Ibu Bapak tidak pernah perhitungan buat anak. Mau itu dagangan, kalau anaknya ingin makan ya dibiarkan. Apalagi aku dari kecil memang susah makan. Jadi aku mau makan saja ibu udah senang. Sampai usia SMA pun, ibu masih harus berkali-kali menyuruh aku makan. Barulah aku beranjak. Mungkin selain genetika, susah makan itu yang membuat aku berpostur kecil lagi mungil meski entah sudah berapa mangkuk bakso sarat daging kulahap setiap harinya.

"Anake tukang bakso kok kuru."


Tetanggaku pernah bilang begitu. Aku bukan ingin marah karena selalu dan selalu dibilang kurus. Bapak gemuk. Ibu gemuk. Mbak Nur juga tidak sekecil aku. Waktu itu belum ada dek Fyra. Dek Fyra sekarang pun juga gemuk. Aku jadi seperti anak ragil, paling kecil. Tapi aku bukan marah tentang itu. Hanya aku tidak terima. Kalimat itu memberi makna lain. Seolah dia bilang bahwa Bapak dan Ibu tidak becus mengurusiku. Bahkan di usiaku yang baru 7 tahun saja aku paham makna kalimat itu. Aku hanya bersungut, lalu berlalu.

Bapak dan Ibu dulu memang berjualan bakso. Setahuku Bapak adalah penjual bakso yang pertama di kampung kami. Dari jualan keliling digotong. Lalu jualan keliling pakai gerobak dorong. Pernah juga pakai tenda bongkar pasang di pasar Ngantang tiap malam. Lalu pindah ke prapatan Ngantang. Dan yang terakhir bikin warung kecil di depan rumah. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Penjual bakso menjamur. Bapak kalah saing. Bapak harus alih profesi. Bapak berhenti berjualan, tapi tidak berhenti mencari nafkah untuk makan dan segala keperluan.

"Wes tata-tata, Dek?" Bapak bertanya pada ibu sesampainya masuk dapur.
"Wes, Mas. Ndang nyothot pentol, iki wes jam 10 selak ora oleh panggon."
"Iyo. Ngko budhal jam 1 ae, Dek."
"Buk... buk... kate dodol nandi?" tanyaku.
"Ono bersih deso nang Kwatu. Ngko melok yo, karo nonton."
"Asiiik. Karnaval ngono tow, Buk?"
"Iyo. Wes, sinau disik kono." Lalu ibu kembali berkutat membantu menyiapkan ini itu sebelum Bapak nyothot penthol (membentuk adonan daging menjadi bulatan-bulatan baso).

Ah... adegan-adegan harian itu berkelebat. Sekarang aku di rantau. Tidak lagi melihat rutinitas itu lagi. Jaman berubah. Keluargaku pun berubah. Bapak tidak lagi nyothot penthol tapi keluyuran ke jalan mencari penumpang. Ya, Bapak akhirnya kredit motor Honda GL-Max untuk ngojek. Baru 2 tahun kemarin cicilannya lunas. Ibu jadi sering ke pasar. Bukan untuk berbelanja keperluan jualan seperti dulu, melainkan menjualkan panenan kelapa Mbah Lor (sebutan kami untuk mbah dari ibu, karena rumahnya di bagian utara desa, sedangkan mbah dari Bapak kami sebut Mbah Kidul). Kini tidak ada lagi mangkuk-mangkuk bertumpuk. Tak ada lagi bulatan-bulatan daging mengapung-apung saat direbus. Tak ada pula mengiris bawang sambil menangis. Tak ada lagi lap-melap mangkuk, sendok, garpu sebelum berangkat jualan. Juga tidak ada bonus gajih, tulang sum-sum, babad, usus, ataupun jeroan-jeroan lainnya dari tukang giling daging.

Setelah jauh di rantau, aku baru tahu kalau Bakso Malang sebegitu terkenalnya. Tapi dari semua Bakso Malang yang pernah kubeli di manapun aku pergi, tetap tak ada yang mengalahkan bakso buatan Bapak Ibu. Bakso-bakso di pasaran rasanya lebih banyak tepung daripada daging. Bakso Bapak jelas beda, tidak banyak campuran tepungnya. Mungkin juga sampai rugi dan gulung tikar begitu. Waktu awal SMA pernah aku bilang, "Pak, ditambah saja campurannya. Nanti rugi kita. Kalah saing sama bakso lain." Bapak menolak. Katanya dia mempertahankan rasa. Nanti pergi pelanggannya kalau rasanya berbeda. Pasti pada komplain semua. "Yasudah kalau begitu harganya kita naikkan saja harganya," tambahku. Bapak menurut, tapi naiknya hanya Rp 1.000,- Kata Bapak harus mempertahankan harga yang terjangkau. Kalau harganya kemahalan atau lebih mahal dari tukang bakso lain, nanti pergi lho pelanggannya. Itu pun masih sering menuruti rengekan pelanggan minta imbuh. Ah... Bapak Ibu memang pedagang desa biasa, tidak banyak perhitungan. Dulu mereka mana bisa bahkan mana tahu perhitungan Break Even Point  (BEP) agar bisa balik modal seperti yang kudapatkan di seminar kewirausahaan tahun lalu. Bapak Ibu mana punya buku kas yang setiap harinya merekap pemasukan-pengeluaran. Yang ada hanya catatan belanjaan yang harus kutulis sambil didikte Ibu. Ibu tidak bisa menulis, tapi ingatannya tajam. Kontras sekali dengan aku yang pelupa. Mereka tidak pakai yang gituan. Jual saja. Untung sehari buat makan hari ini, sisanya untuk kulakan bahan lagi. Terus seperti itu. Tanpa perhitungan, penuh pengorbanan. 

Aku rindu bumbu cinta Bapak Ibu di tiap mangkuknya. Aku menyesali saat di rumah aku tidak pernah mau belajar membuat bakso. "Aku tidak mau jadi tukang bakso, aku maunya jadi guru," kataku waktu kecil dulu. Mungkin aku tak mewarisi bakat ibu yang pintar masak. Atau mungkin bakat masak itu sebenarnya mengalir tapi aku yang memampatkan alirannya. Aku lebih memilih bersih-bersih daripada memasak. Tapi sekarang aku tergugah. Kelak aku seorang istri, dari tangankulah makanan anak dan suami harusnya tersaji.

"Buk... pengen bakso," keluhku pada Ibu melalui telepon.
"Yo tuku ae, Nduk. Kowe kie mangan ojo ngirit-ngirit nemen. Lek pengen yo tuku ae ra popo. Lek kurang kirimane ki ngomong ojo meneng ae. Ibu tak ngusahakne nambahi pokoke manganmu neng kono cukup," jawab ibu panjang.
"Pengen baksone Bapak Ibu og," balasku dengan nada memanja.
"Ealah... yo lek mulih ta gawekne."

Aku rindu semangkuk bakso buatan Bapak Ibu. Aku rindu semangkuk cinta itu. Sungguh. Karena rinduku tak terkata, biar air mata yang bicara.

0 komen pemBACA:

Posting Komentar

Komentari yang sudah diBACA yuk :)