Selasa, 25 April 2017

MAJID DI MASJID

   

        "Maling... Maling... Maliiing!"
     Teriak warga berlarian mengejar si tangan panjang. Kencang benar ia. Para warga kewalahan menangkapnya.

      Majid namanya. Pencuri, pencopet, penguntit, penjambret paling profesional di kelompoknya. Dia tak pernah gagal di tiap aksinya. Tidak juga satu atau dua bogem dari warga mendarat di kedua pipinya. Dinginnya bui seperti ujar kawan-kawannya pun tak sekalipun dialaminya. Dialah Majid, kriminal kelas wahid.

     "Wah... Kemana dia?" warga bertanya-tanya.
     "Sudah lolos mungkin saja. Larinya sudah seperti singa," timpal warga lain sembari terengah.
     "Bubar... Bubar... Bilang saja pada si renta itu agar mengikhlaskan. Toh kita tak mungkin mengejar maling seharian. Bubar!" Sergah seorang paruh baya dengan kasar. Mungkin, ia kesal karena gagal.

     Warga berhamburan bubar. Sebagian kembali ke titik awal. Seorang nenek renta tersedu dikelilingi ibu-ibu. Hatinya lebih pilu, dalam tasnya ada uang saku yang ia simpan untuk si cucu. Sejam kemudian, situasi tenang. Cerita sang nenek kemalingan...terlupakan.

     "Berhasil lagi?! Majid, kau memang maling nomor wahid!" puji gerombolan Majid takjub sekaligus bangga.
     Majid hanya menyunggingkan sedikit senyum angkuh sambil menyeka peluh.
     "Kalian ingin tahu selama ini di mana aku sembunyi dari keroyokan massa?" tanya Majid yang hendak membuka rahasia.
     Gerombolannya hanya mengangguk-angguk kepala sambil melotot ke arahnya. Sejak lama mereka menanti Majid angkat bicara tentang kunci keberhasilannya.
     "Di masjid," jawabnya singkat.
     "Kau gila?! Mana mungkin bisa?!" anak buahnya ternganga.

     Majid menjawab santai sambil menghisap cerutunya, "Mudah saja. Di desa itu masjid sepi. Yang nyabanin jarang sekali. Bahkan saat adzan berkumandang, jamaah masjid itu hanya 2-3 orang. Hahaha... Waktu beraksi yang tepat justru ketika jam shalat. Saat 2-3 orang itu sedang khidmat, mereka tak menyadari aku sembunyi di balik almari. Warga pun tak mungkin mencari ke sana & mengira tak mungkin aku berani masuk rumah Tuhan-Nya. Ah... Heran aku pada mereka. Mengapa mereka yang lebih 'suci' dari kita justru enggan masuk sana."

for storialpicstorychallenge
This entry was posted in

Jumat, 21 April 2017

AKU (BUKAN) KARTINI


Bukan, Tuan!
Saya bukan Kartini
Saya adalah saya sendiri

Tidak, Tuan!
Saya tak hendak menyangkal sejarah
Terakuilah Kartini nan dikisahkan dengan megah
Sebagai simbol puan penggugah

Ya, Tuan!
Memang saya pun puan
Namun tak hendak disama-samakan
Beliaulah beliau adanya
Saya adalah saya saja

Dengar, Tuan!
Kartini dan saya hidup di beda zaman
Pun kami berbeda azam
Saya tak lagi menuntut setara
Sebab para puan kini melebihi Tuan pun bisa
Bahkan yang melampaui kodratnya pun ada
Bukan itu, Tuan!
Saya hanya puan jelata tanpa tahta
Mana kuasa mengubah segala-gala sepertinya
Saya hanya puan yang mengubah diri sendiri saja
Setengah mati susahnya

Maka dari itu, Tuan!
Saya hanya hendak menyampaikan pinta
Pada sesama puan seperti saya
Agar tak henti mendalami sebanyak-banyak ilmu
Agar tak membeo kejahilan akhir masa
Agar menyadari kecantikan dirinya
bukan dari bersolek rupa
melainkan salim nuraninya

©DwisRiyuka | 20170421
This entry was posted in