Sabtu, 25 Oktober 2014

Usai Melepas Usia 22 (Part 1)

14 September 2014. Usiaku kini tidak lagi di angka kembar 22. Angka dua yang dibonceng berubah menjadi 3. Sejak tanggal ini, 23 tahun aku (padahal  I'm feeling 22 kayak di lagunya Tailor Swift). Dan seminggu kemudian usai melepas usia yang ke-22, aku mendapat kejutan di tanggal 22.

22 September 2014. Sejak tanggal itu tangan kanan ini terbalut kaku oleh gips merah. Sejak tanggal itu tangan kirilah yang melaksanakan segala titah. Awalnya memang tidak mudah, bahkan hingga sebulan berlalu, itu memang tidak mudah. Tidak mudah karena banyak dari apa yang dilakukan tangan kanan memang tak tergantikan. Tapi tidak mudah itu juga tidak berarti tidak bisa. Nyatanya sebulan ini bisa terlalui meski dengan bantuan sana sini.

Tangan kananku kaku diatas boneka temanku. Rasanya 'nyut-nyut' kala itu. Sampai ada teman yang berceletuk "Sakit mana patah tulang atau patah hati?" #MenjawabDalamHati 

Oh ya... Aku berkisah bukan untuk berkesah, aku hanya ingin menyampaikan potongan-potongan hikmah.

Saat itu kami, aku dan 5 orang temanku, tengah ingin melepas penat usai KKN selama dua bulan. Sebelum masing-masing dari kami akan kembali tersibukkan dengan skripsi dan aktivitas lain, pikir kami. Sengaja memilih hari Senin, bukan weekend, aagr tidak ramai. Seminggu sebelumnya 'jalan-jalan' ini sudah teragendakan. Aku pribadi memang tengah merindu pantai. Ah... anak gunung begini bahagianya kalau ke pantai. Aku rindu dipeluk suara debur ombak dan semilir angin. Aku rindu kakiku digelitik dingin air samudra. Segarnya, bayangku. Tidak sabar menunggu 22 September itu datang. 

Malam sebelum kami berangkat, kami berdiskusi via chat tentang mau ke pantai mana kami akan pergi. Great! Wediombo... pantai Gunungkidul yang terujung. Masih cukup sepi dan tenang, pas untuk refreshing. Aku mengusulkan berangkat pagi-pagi, tapi beberapa tidak sepakt karena malas bangun pagi. Jam 8, deal.

Paginya salah seorang diantara kami harus mengahadap dosen. Ada kabar mendadak dari DPL-nya. Dan perjalanan kami tertunda, bahkan memang ada niat membatalkannya. Rasanya malas saja jika tengah hari dalam perjalanan jauh yang begitu panasnya. Tapi entah bagaimana, meski antara ya dan tidak, ragu-ragu untuk tetap pergi, kami tetap bersepakat berangkat. 

Pukul 10-an aku telah siap. Ah.. aku belum pamit Ibu-Bapak, aku baru teringat. Bagiku, meskipun jauh di Jogja, aku harus tetap berpamitan pada Ibu Bapak jika mau pergi main. Padahal Ibu Bapak tidak akan tahu aku kemana dan dengan siapa karena jauh di Ngantang sana, tapi aku selalu begitu, selain karena terbiasa sejak sekolah dulu juga karena aku tidak mau Ibu Bapak mengkhawatirkan apa yang aku lakukan di perantauan. Dengan selalu berpamitan, Ibu Bapak akan lebih tenang karena tahu apa saja yang sedang kulakukan. Juga karena RESTU orang tua itu penting. 
Tapi pagi itu, HP ini kembali nge-hang. Sering sekali begini, kalau sudah nge-hang lama sekali lbaru bisa buat SMS lagi. Yasudah, nanti saja pamitnya, gumamku.

Dan kamipun berangkat, dalam hati ragu dan gamang yang saling tertutupi. Di jalan aku dan yang memboncengku sempat ketinggalan jauh karena sebelumnya salah belok arah. Kami berbalik arah dan mengejar 2 motor lain yang sudah melesat jauh di depan. Aku pegang erat jok belakang, MasyaAllah... cepat sekali. Ngebut super ngebut. Aku mulai takut. Aku hanya merasa aman dibonceng ngebut jika yang membonceng adalah Bapak. Maklum, Bapak itu 'wonk embongan'. Sudah terbiasa ngojek di jalan pengunungan yang meliuk-liuk dan naik turun. Selain dengan Bapak, aaakk... aku deg-degan minta ampun. 
"Aku boleh jujur gak? Gimana kalau kita pelan aja. Aku SMS mereka buat nunggu di mana gitu..." aku mencoba bicara setengah teriak. Tapi sepertinya tak terdengar. Aku merapal dzikir-dzikir sebisaku.

Setelah entah berapa menit (rasanya lama sekali) aku merem melek sambil kencang memegang jok belakang, akhirnya 2 motor lain tersusul. Kami berhenti untuk makan siang. "Kenapa Mbak?" tanya temanku melihat ekspresi anehku.

Dan usai itu, kami melanjutkan perjalanan. Ah... jauh juga ternyata. Tidak lupa berhenti untuk menunaikan Dhuhur di sebuah Mushola POM. Dan perjalanan kembali dilanjutkan.

Ciiiittt... Brakkk...
Aku melihat sendiri dengan mata kepalaku, satu motor kami berbelok dan yang memboncengku kaget dan me-rem. Motor terbelok ke kiri, atau mungkin sengaja ia belokkan. Tapi hasilnya motor oleng. Kami terjatuh. Hmm.. aku terjatuh, masih tersadar. Aku mendengar motor belakangku terjatuh juga dan tak lama kemudian merasakan sedikit hantaman ke tubuhku. Aku masih sadar. Mataku masih terbuka meski pandangan tak sejelas biasanya. Tubuh kananku terasa nyeri, dan perih. Maka menjadi ramailah suasana. Aku masih tersungkur. Kudengar teman-temanku memanggilku, lalu meraih tubuhku, hendak membangunkanku. Nyuttt.... tanganku nyeri tak terperi. "Ah... ada apa dengan tangan ini, tangan kanan." pikirku. Kulihat samar, pergelanganku kaku membengkok. Ah ini pandanganku yang berlebihan atau bagaimana? Pasti keseleo pikirku. Aku tidak bisa mengatakan kata selain mengaduh. Dan itu sepertinya menambah kepanikan di wajah temanku. Wajahku lemas, aku digendong ke mobil entah mobil siapa. Ah... siapa yang menggendongku? Pasti laki-laki. Bagaimana ini? Masih sempat terpikir itu. Tapi aku sudah lemas, aku tidak bisa apa-apa dalam keadaan seperti ini. 

Kami ke rumah sakit. Sesampainya di sana, ternyata di kakiku ada luka. Kaos kakiku dibuka dan dibersihkan, aduh perihnya... Lalu aku dibawa ke ruang rontgen. Ah... ini pertama kalinya aku harus berurusan dengan rumah sakit begini. Aku takut. Di ruang kecil itu, tanganku diluruskan. La haula wallaquwwata illa billah... sakitnya. Setelah itu aku digiring kembali ke ruangan semula, menunggu hasilnya. Alhamdulillah, selain aku tidak ada yang parah lukanya. Dua temanku lainnya lecet dan ngilu kakinya, dan entah bagaimana pula dengan motornya. Mereka tak mau banyak bicara. 

Tak lama kemudian petugas berkata, "Owalah mbak ini ada yang pecah di pergelangannya." What?! Pecah katanya? Pecah atau retak? Dua kata itu berbeda lho Bu, batinku. "Kosnya dekat RS apa? Nanti di sana saja. Disini gak punya alatnya." Panti Rapih, temanku bilang kita akan ke Panti Rapih. Well, ini akan menjadi kali pertama ke RS sebagai pasien kecelakaan. Usai meminumkan obat dari sana, mereka undur entah kemana. Jangan-jangan motornya rusak parah. Pasti mencari mobil, pasti aku membuat mereka kerepotan. Dan aku sedang tak membawa banyak uang, aku pasti sangat sangat sangat merepotkan mereka. Aku ingin bicara tapi mereka tak ada. Pikiranku ke mana-mana. Rasa bersalah bertumbuh dengan cepatnya. Aku tadi belum sempat pamit Ibu Bapak. Aku juga sebagai orang yang mengajak mereka, justru sekarang akhirnya merepotkan mereka. Aku menangis tertahan. 

"Karena HATI BICARA melalui keraguan. Apa-apa yang meragukan harusnya DITINGGALKAN."

"Hehehe... walaupun ndak jadi lihat sunset di Wediombo, alhamdulillah masih bisa lihat sunset walaupun di mobil." Itu yang kukatakan pada temanku di mobil. Syukur alhamdulillah, masih diberi keselamatan setelah apa yang terjadi siang tadi. Kalau saja di belakang ada truk atau kendaraan besar lainnya, entah apa jadinya. Kalau saja motor temanku yang belakang tak juga jatuh, entah apa jadinya. Semua sudah diskenario sedemikian rupa, sedetail-detailnya. Subhanallah...

0 komen pemBACA:

Posting Komentar

Komentari yang sudah diBACA yuk :)