“Cita-cita? Hmm... ya, bisa jadi. Bukankah setiap kita akan sampai pada tahap ini juga? Ah, aku hanyalah anak kecil yang masih belajar merenda kata. Nanti, jika sudah tiba masanya. (Rizky Ageng, 2013)”
Begitulah kutipan di halaman pembuka cerpen berjudul Apapun Masa Depanku Asal Bersama-Mu karya Rizky Ageng Mardikawati (anggota FLP Yogyakarta) yang dimuat di antologi cerpennya, Sejuta Cerita yang terbit di tahun 2014 ini. Cerpen ini pernah dikirimkan ke event menulis bertema "Kisah Masa Depanku" dalam rangka Milad ke-5 FLP Purwakarta 2013.
Cerpen ini mengisahkan kehidupan sebuah keluarga Islami yang harmonis. Rina dan suaminya adalah para aktivis dakwah. Mereka telah dikaruniai seorang buah hati yang diberi nama Fatih. Usai muraja’ah beberapa surat di juz 27, Rina yang seorang penulis melanjutkan garapannya yang harus segera dirampungkan. Saat itulah suaminya menyuguhkan mug penuh hot chocolate untuknya. Romantisme sederhana juga dialog ringan tentang keseharian para pendakwah pejuang Islam membawa pembaca terkagum dan larut dalam impian akan dekap keluarga sakinah.
Selain ketaatan sepasang insan dewasa tersebut, Fatih pelita pertama keluarga mereka juga digambarkan sebagai seorang anak sholeh. Melalui celetuknya saat usai adzan Shubuh berkumandang, Fatih nampak berbeda dari anak-anak pada umumnya. Fatih, seorang anak usia TK besar, telah terdidik shalat tepat waktu. Ia bangun tanpa dibangunkan. Tak ada gambaran rasa malas. Tak ada gelagat merajuk. Hanya kepatuhan. Bersama Umi dan Abi, bahkan ia ikut berjamaah.
Saat sarapan pagi, lagi-lagi nampak harmonisnya keluarga kecil itu. Keceriaan anak dan rasa saling menjaga saat suami-istri satu sama lain berpamitan dan terbuka tentang kegiatan mereka hari ini. Sang suami yang seorang dokter izin pulang terlambat usai praktek karena hendak liqo’. Dan sang istri yang selain penulis juga guru izin mengisi halaqah di SMA lain dan mengisi talkshow kepenulisan serta bedah buku. Lalu si kecil Fatih, lagi-lagi digambarkan kesholehannya. Sekeceil itu ia sudah paham apa itu liqo’ dan menyampaikan keinginannya ikut serta. Kembali disisipkan pula romantisme sederhana sang suami. Dia mengajak istrinya mengendarai motor beriringan karena mereka harus berangkat ke jalan dakwah masing-masing.
Paragraf-paragraf selanjutnya menceritakan kegiatan yang dilakukan Rina seharian. Hingga pada paragraf hampir akhir, humor manis sang suami kembali mewarnai. “Abi mau pindah jalan dakwah... yang dulunya sendirian, sekarang dakwah sama Ummi. Yang dulu lahannya anak-anak sekolah dan kampus, lalu masyarakat. Sekarang ketambahan satu lagi, yaitu hati Ummi,” ujar suami sambil senyum menggoda.
Prolog awal terpisah dari cerita yang dikutip di awal resume ini seolah memang menjadi hint bahwa cerita ini adalah tentang cita-cita atau impian sang penulis. Dalam cerita terbukti bahwa kisah yang disampaikan memang sebuah Islamic Utopian family yang mungkin memang menjadi impian banyak orang. Dapat digolongkan ke dalam genre Utopia karena keluarga dalam cerita tersebut merujuk pada sebuah keluarga yang ‘mendekati sempurna’ di mana segalanya serba harmonis dan tertata. Sifat-sifat utopis tersebut menunjukkan idealisme yang dilarutkan penulis ke dalam kisah realis yang ia tulis. Kisah-kisah Utopia semacam ini memang nampak too good to be true namun sisi positif yang bisa diambil adalah bahwa cerita semacam ini mampu memotivasi, menumbuhkan, atau bahkan menguatkan harapan para pembaca dengan impian dan idealisme yang sama.
Desainnya bagus, menarik... :-D
BalasHapusSegi bahasa sama tulisan udah pas mbak,enak dibacanya.
Mbaaaak.. aku baru bacaaa..:D aku jadi terharuuuu :'D
BalasHapus