Minggu, 22 Mei 2016

MEMASAK; Hijrah dari Ogah menjadi Doyan Parah

Foto alay hasil belajar masak yang terunggah di medsos.

Dulu semasa masih sekolah dan tinggal di rumah, aku paling malas jika diminta  membantu ibu masak, aku akan lebih memilih membantu beres-beres atau bersih-bersih rumah. Bagiku waktu itu, kepuasan melihat sesuatu yang tadinya kotor & berantakan berubah jadi bersih & rapi itu lebih menyenangkan daripada harus berkutat dengan dapur dan aneka bumbu-bumbuan. Alhasil, aku tidak pernah memasak yang benar-benar memasak, hanya terkadang membantu Ibu mengiris/mengulek bumbu. Padahal, sebenarnya, masa itu adalah kesempatan emas berguru pada Ibu yang bakat masak enak menurun bakat nenekku. Malah Bapak pun pernah bilang sebenarnya aku juga bakat masak seperti Ibu setelah beliau makan masakanku (saat ada momen "terpaksa masak" menggantikan ibu yang tengah sakit kala itu). Namun tetap saja, aku enggan mengasahnya hingga 'bakat' itu sepertinya tak mungkin lagi menurun kepadaku.

Namun sesuatu yang bernama waktu menjadi sarana Tuhan memutarbalikkan keadaan. Allah rupanya menakdirkan aku hidup jauh dari ibu terdampar di luasnya bumi perantauan. Perantauan ini salah satunya membuatku sadar bahwa aku harus bisa memasak sendiri.

Dimulai ketika KKN yang beranggotakan mayoritas laki-laki yang sebagian besar masih dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat bahwa yang lazim memasak adalah perempuan, maka mau tak mau aku terlibat dalam hal masak-memasak. Untungnya satu-dua kawan kami sudah terbiasa memasak dan masakannya dijamin enak. Tapi terkadang mereka tak selalu ada di tempat dan aku harus menggantikan dengan kemampuan seadanya. Mulailah kata "andai" bermunculan. Andai aku mau belajar masak dari ibu. Andai aku membiasakan diri memasak sendiridan tidak hanya membeli. Dan aneka pengandaian itu sia-sia ditelan waktu yang tak pernah bisa kembali ke masa lalu. Sebenarnya, aku bukannya malu kalau kawan laki-laki di KKN tahu aku tak pandai masak. Aku tak masalah dengan itu, justru dengan terbukanya kepada mereka aku mengaku. Yang membuatku tak enak hati justru karena aku tak bisa memberi makan yang enak bagi lidah dan perut mereka. Maka aku kecewa pada diri sendiri. 

Dari situlah aku belajar bahwa memasak itu hakikatnya adalah melakukan sesuatu untuk orang lain, bukan hanya diri sendiri. Jika orang lain senang maka kita senang. Jika orang lain tak senang, kita pun takkan merasa puas pada sendiri. Seperti ibu yang setiap hari selalu memasak untuk keluarga kami, dan nampak kecewa bila Bapak menggerutu masakannya, atau bila diantara kami bertiga ada yang tak menghabiskan makanannya.

Maka seperti telat pubernya seorang remaja tua, aku pun merasa telat untuk memulai belajar memasak. Namun "memulai" adalah satu-satunya hal yang harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan. Tak ada pilihan, pun tak ada waktu merutuki penyesalan atas keterlambatan. 

Setahun ini, sejak menjelang Ramadhan tahun lalu, memasak menjadi seperti hobi baru bagiku. Aku mulai menekuni dapur kos yang hanya kusinggahi sesekali saat mendidihkan air atau memasak mie instan. Mulai menikmati proses memasak. Bahkan mencoba memberanikan diri untuk memasak sahur bagi beberapa teman kos agar tidak repot keluar dini hari dan mengantri di warung depan. Dari memasak saja, aku belajar banyak. Belajar bahwa "to achieve something good, you have to struggle for it", untuk mendapatkan sesuatu yang enak, kita harus berusaha dan melakukan pengorbanan. Belajar bahwa hasil memang ditentukan oleh sebuah proses. Belajar bahwa yang biasa dan seadanya bukan berarti tak bisa jadi istimewa. Belajar dari momen keasinan, kepedesan, kemanisan, dan kekurang-pasan lainnya bahwa terkadang kita harus mengatasi hati sendiri yang mudah kesal dan kecewa karena tak terwujudnya ekpektasi. Belajar bahwa ternyata benar, kita pasti bisa jika membiasakan. Belajar bahwa ternyata yang memuaskan kita bukanlah pujian orang, melainkan karena telah melakukan hal yang membuat orang lain senang. Mereka senang karena bisa berhemat banyak dengan patungan membeli bahan, senang karena bisa menikmati menu yang lebih bervariasi dari yang biasanya tersedia di warung, senang karena terasa seperti obat rindu rumah dan memakan masakan homemade ibu masing-masing katanya, senang karena kami tak merasa sepi makan sendiri-sendiri tapi bersama saling berbagi, senang karena momen itulah yang semakin mendekatkan kami, dan senang karena kami bisa saling memaklumi kekurangan sekaligus mengapresiasi apa yang sudah orang lain lakukan. Sayangnya, momen indah itu jarang terabadikan. 

Maka sejak beberapa bulan ini, aku mencoba untuk mengabadikan sebuah proses belajar yang sedang kujalani. Apalagi aku sadar betul bahwa aku seorang pelupa ulung. Jadi seusai masak, olahan tanganku itu selalu kufoto dan kutulis resepnya dengan bantuan aplikasi Cookpad, sehingga lain kali aku bisa mengeksekusi kembali atau memodifikasi. Terserah lah jika orang di sekitarku mengelus dada melihatku asik memotret sebelum makan bahkan mencibir 'alay', pamer, dan sebutan semacamnya dengan maksud yang serupa. Aku tak ingin lagi melewatkan momen ini, momen ketika aku benar-benar menikmati apa yang kupelajari. Aku akan mengejar ketertinggalan selama ini.

> Ditulis dini hari, 22 Mei 2016 di rooftop E21.

0 komen pemBACA:

Posting Komentar

Komentari yang sudah diBACA yuk :)